Selasa, 02 November 2010

Wedhus Gembel dan Wedhus Beneran

Saya bukan pedagang Wedhus (kambing). Saya memilih judul ini karena Merapi masih gencar-gencarnya mengeluarkan debu vulkanis atau awan panasnya, yang oleh orang Jogja lazim disebut Wedhus Gembel.
Awalnya saya bingung kenapa awan panas itu bisa-bisanya disebut 'Kambing Gembel'. Ternyata imajinasi penduduk Jogja (warga Merapi khususnya), melihat gumpalan debu yang bergerak turun timpa-menimpa itu; membentuk rangkaian bulu kambing/ domba yang dekil tak terurus, dan kusam.
Awalnya saya juga bingung, kenapa setelah Merapi menewaskan Mbah Maridjan dan puluhan orang lainnya, masyarakat sekitar masih berani-beraninya pulang kerumah untuk menjenguk Wedhus atau ternak mereka. Realitanya, pemerintah lewat instansi terkait di Jogja, sudah mengeluarkan larangan resmi untuk tidak kembali ke rumah. Karena status Merapi masih awas. Artinya, status kewaspadaan tertinggi untuk sebuah gunung sebelum ia meletus.

Sebenarnya Gunung Merapi tak asing bagi saya dan rekan-rekan. Semasa kuliah, saya aktif menyambangi Merapi (tahun 2000 sampai 2005). Perkenalan saya dan Lereng Merapi mulai intens saat mulai bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) kampus, Mapala STIE YKPN Yogyakarta. Saya di 'baptis' menjadi anggota organisasi tersebut di kali (sungai) tak jauh dari Pelemsari, Desa Kinahredja.
Selanjutnya, saya dan Lereng Merapi plus penduduknya cukup kerap bersua. Kali Kuning hingga Pos II Pendakian Merapi jadi arena kami berlatih. Belajar navigasi darat/ pemetaan, atau sekadar bermalam mencari udara dingin dan kabut. Tak terhitung sudah berapa kali menyambangi tempat-tempat itu.
Disana, kami kerap menginap dirumah Pak Pudjo, tempat sobat-sobat (Mapala lain) sering menginap di Kinahredja, selain rumah Mbah Maridjan tentunya. Posisinya kira-kira 300-an meter di bawah rumah Mbah Maridjan.

Kembali ke bahasan sebelumnya. Mengenai keberanian masyarakat Merapi menjenguk Wedhus atau peliharaan mereka saat Merapi dalam posisi sulit. Saya kembali teringat seperti apa kemesraan warga Merapi dan ternaknya.

Wedhus, Sapi, Kuda, Ayam atau apalah jenis peliharaan mereka, itu adalah sentral kehidupan. Saya teringat saat banyak orang-orang Merapi yang sering kami jumpai di bukit-bukit jauh dari pemukiman: membawa pikulan - pikulan besar yang berisi rumput segar. Tentunya butuh pengorbanan yang berat untuk turun naik bukit memikul rumput sedemikian banyak. Padahal disekitar jalan aspal sepanjang Kinahredja banyak juga (seperti) rumput segar. Karena posisi Kinahredja sudah cukup tinggi, jauh dari asap kendaraan dan sejuk selalu.

Hampir tiap pagi Kinahredja selalu diramaikan pemerah susu. Sapi mereka sendiri. Status mereka rata-rata sebagai pemilik modal disana. Bukan seperti pemerah susu yang digaji dipeternakan besar. Ada pick up yang menjemput susu untuk dijual ke pasar tiap pagi. Mungkin buat pasokan pasar-pasar sepanjang Jalan  Kaliurang. Mungkin itu juga sebab mereka mencari rumput segar jauh hingga kebukit - bukit. Untuk kualitas susu.

Selain beternak, paling (menurut pengamatan saya) pekerjaan mereka membuka ladang. Tapi tak banyak yang menekuni profesi ini. Karena hampir tiap rumah disana memiliki ternak. Beragam. Rata-rata Sapi. Atau kombinasi beberapa hewan ternak sekaligus, dan mereka total dalam perawatan ternaknya. Dirumah Pak Pudjo, tempat Mapala kampus kami biasa berteduh; beliau juga memelihara Kuda. Kuda yang biasa dipakai untuk Labuhan Merapi, sebuah prosesi adat Keraton Yogyakarta di Gunung Merapi.

Dari gambaran itu, tak berlebihan rasanya jika warga Lereng Merapi masih menyempatkan diri menjenguk Wedhusnya disela-sela 'Merapi lagi Mbangun' kata almarhum Mbah Maridjan. Ternak itulah yang membuat mereka hidup layak dari generasi ke generasi di Pelemsari, Kinahredja. Jadi naif rasanya jika banyak yang mengatakan kenapa harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjenguk ternaknya. Ternak itu sentral sosial mereka. Sentral ekonomi dan pusat aktivitas. Tak bisa dibayangkan jika warga Lereng Merapi hidup tanpa ternaknya.

Itulah pengalaman saya selama bergaul dengan Merapi. Dan doa kami untuk Bu Pudjo yang menjadi korban Wedhus Gembel, yang telah dimakamkan bersama dengan 20 korban lainnya. Buat Pak Pudjo yang terkena luka bakar hingga enampuluh lima persen di RS Sardjito Jogjakarta, semoga lekas sembuh.
Buat pembaca yang ingin menyumbangkan barang apa saja untuk membantu kebutuhan pengungsi di lokasi, dapat mengirimnya ke Mapala STIE YKPN (Mapastie) GMH 109, STIE YKPN - Jalan Seturan, Jogjakarta. Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih atas partisipasinya.

                                       [Mohammad Endy Febri, Ketua Mapastie 2002 - 2004]

akhirnya Pak Pudjo meninggal Jumat, 5/11/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar