Senin, 28 Februari 2011

Daging

Daging yang saya maksud adalah daging-nya Sutardji Calzoum Bachri. Daging yang 'dibentuk' oleh Calzoum pada tahun 1979 - (isi dari salah satu sajaknya) dalam kumpulan sajak-sajak yang terangkum dalam KAPAK.

Daging

daging
coba bilang
bagaimana arwah masuk badan

bagaimana tuhan
dalam denyutmu

jangan diam
nanti aku marah
kalau kulahap kau
aku enak sekejap
aku sedih
kau jadi taik

daging
kau kawan di bumi di tanah di resah di babi-babi

daging
ging ging
kugali-gali kau
buat kubur
dari hari
ke hari
                                                                                                    1979

Minggu, 20 Februari 2011

Pantun Nasehat

Kesempatan kali ini saya berbagi pantun-pantun (dari buku Pantun Nasehat) karya Tenas Effendy, sastrawan sepuh dari tanah Riau. Karya pantunnya yang sudah terangkum dalam puluhan buku; mengalir sedap dalam penggalan-penggalan kalimat yang sangat harmonis dan dinamis...

Kelapa Gading buahnya banyak
Lebat berjurai dipangkal pelepah
Bila berunding sesama bijak
Kusut selesai, sengketapun sudah

Kalau ke Teluk pergi memukat
Tali temali kita kokohkan
Kalau duduk mencari mufakat
Iri dan dengki kita jauhkan

Apa tanda batang kemiri
Buahnya keras dibuat rempah
Apa tanda orang tak tahu diri
Beroleh kurnia hatinya pongah

Apalah tanda kayu Meranti
Kayunya rampak melambai angin
Apalah tanda Melayu sejati
Ilmunya banyak, belajarpun rajin

Kalau kail panjang sejengkal
Lautan mana dapat diduga
Kalau kecil kurang berakal
Sesudah tua dapat celaka

Kalau hendak mencari jelaga
Jelaga terletak pada sumbu
Kalau hendak mencari surga
Surga itu dibawah telapak kaki Ibu

Kalau Cempaka kurang berbunga
Tanda uratnya sudah membusuk
Kalau lah durhaka keorangtua
Dunia akhirat kan kena kutuk

Tak ada guna merajut baju
Kalau ditetas buahnya lepas
Tak ada guna disebut Melayu
Kalau malas bekerja keras

Apa tanda Pinang berbuah
Banyak burung menyeri mayangnya
Apalah tanda orang bertuah
Bijak menghitung hari didepannya

Berbuah kayu ditengah padang
Daunnya rimbun tempat berteduh
Bertuah Melayu berkasih-sayang
Hidup rukun, sengketa menjauh

Apalah tanda batang Pandan
Daunnya panjang duri berduri
Apalah tanda orang budiman
Dadanya lapang, tahukan diri

Apalah tanda batang Nipah
Tumbuh di pantai, banyak pelepah
Apalah tanda orang bertuah
Elok perangai, hati pun rendah

Apalah tanda kerang berisi
Bila direbus kulitnya merekah
Apalah tanda orang berbudi
Bila bergaul suka merendah

Orang Bintan memetik nangka
Rasanya manis sedap dimakan
Orang beriman berbaik sangka
Mukanya manis, lakunya sopan

Pulau Bintan di Selat Melaka
Dekatlah dengan Pulau Penyengat
Kalau iman melekat didada
Berat dan ringan tidak mengumpat

Pulau Bintan di Selat Melaka
Tempat berkampung anak Melayu
Kalau iman melekat didada
Tak kan canggung kehilir- kehulu

Pulau Bintan di Selat Melaka
Tempat berhimpun perahu nelayan
Kalau iman melekat didada
Sifat penyantun, laku pun sopan

Pulau Bintan di Selat Melaka
Termasyhur dengan Kota Piring-nya
Kalau iman melekat didada
Jujur berkawan, sempurna rundingnya

Jauh berjalan banyak dilihat
Banyak mendengar bertambah ilmu
Senonoh berkawan banyak manfaat
Banyak bersabar, hilangkan seteru

Sastra Koran dan Imaji Tentang Kekerasan

Tradisi penulisan teks sastra lewat koran (sastra koran) sudah lama muncul. (Hampir) semua sastrawan kondang memanfaatkannya. Gerson Poyk, Abdul Hadi WM, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Gus Mus, Hamsad Rangkuti, atau Afrizal Malna –sekadar menyebut beberapa nama—adalah sederet tokoh yang dengan amat sadar ”menggauli” koran sebagai ”corong” kreativitasnya dalam berkesenian. Hampir mustahil seorang sastrawan bisa terangkat namanya secara otomatis tanpa harus bersentuhan dengan koran. Bahkan, bagi penerbit, sastra koran barangkali dijadikan sebagai ”barometer” untuk mengukur tingkat kapabilitas seorang sastrawan yang menginginkan karyanya diterbirkan sebagai buku. Itu artinya, koran, disadari atau tidak, memiliki andil besar dalam melambungkan nama seorang sastrawan.
Sayangnya, tidak semua penerbitan (koran) sanggup dan mampu bertindak sebagai ”juru bicara” sang sastrawan, apalagi ketika harga kertas melambung. Tidak sedikit koran yang terpaksa menggusur rubrik sastra. Koran pun jadi lebih banyak menyajikan berita-berita politik dan ekonomi yang ”memanas”, demo menolak kenaikan BBM, aksi-aksi kekerasan yang mengerikan, pernyataan para elite yang kontroversial, atau penanganan kasus hukum yang stagnan. Hanya penerbitan tertentu yang dengan setia menghadirkan tulisan yang humanis, menyentuh nurani, dan menyejukkan. Selebihnya, adalah penerbitan yang sering disebut orang sebagai ”pers provokator”. Tidak bikin sejuk, tetapi secara emosional malah bikin suasana makin panas dan mudah terkompori.
Sebagai salah satu entitas kebudayaan, sastra akan makin bermakna jika didukung media publikasi dan sosialisasi yang memadai. Salah satunya ya lewat koran itu tadi. ”Pulchrum dicitur id apprensio” (keindahan jika ditangkap menyenangkan), demikian ujar sang filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Ini artinya, keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media sosialisasi dan publikasi. Bagaimana mungkin publik mampu menangkap keindahan cerpen surealis Danarto yang fantastik dan teatrikal, cerpen Seno Gumira Ajidarma yang ”liar”, romantik, dan menghanyutkan, atau puisi-puisi Abdul Hadi WM yang religius, kalau tak ada media yang memuatnya? Bagaimana mungkin nama-nama mereka bisa dikenal publik sastra?
Dari sisi ini jelas bahwa keberadaan koran menjadi hal yang niscaya bagi kiprah dan kreativitas seorang sastrawan, khususnya bagi mereka yang sedang memburu popularitas. Untuk langsung mengirimkan setumpuk karyanya kepada penerbit buku? Alih-alih diterima, disentuh pun bisa jadi tidak, apalagi buku-buku sastra termasuk jenis buku yang ”mati” di pasaran.
Ada juga asumsi yang menyatakan bahwa sastra koran diragukan bobot dan kualitasnya. Asumsi ini beranjak dari kenyataan bahwa kreativitas sastrawan mesti ”tunduk” dan ”patuh” pada selera redaksi sehingga menutup kebebasan sastrawan dalam menciptakan teks-teks sastra yang ”liar” dan menentang arus. Selain itu, redaksi koran juga dinilai ”kurang adil” dalam memperlakukan para penyumbang tulisan. Mereka yang sedang berjuang mengukir sejarah kesastrawanannya untuk mendapatkan legitimasi publik harus menelan kekecewaan lantaran tulisan-tulisan kreatifnya tak muncul-muncul di koran. Ironisnya, tulisan sastrawan kondang yang secara tematik dan penggarapannya dianggap kurang intens dan serius, justru bertebaran di berbagai koran.
Asumsi semacam itu memang sah-sah saja. Namun, sepanjang pengamatan awam saya, teks-teks sastra koran yang muncul –tak peduli siapa penulisnya—secara sastrawi dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, dari sisi bobot dan kualitasnya layak digolongkan sebagai karya sastra yang sarat nilai kultural, relogi, dan kemanusiaan. Selain itu, pimpinan redaksi tentu tak akan gegabah menaruh sembarang orang untuk menjaga ”gawang” rubrik sastra. Paling tidak, mereka yang pernah eksis berkiprah di dunia sastra dan berwawasan estetika yang mumpuni --tidak semata-mata memiliki keterampilan jurnalistik-- yang layak mengurusnya.
Di tengah atmosfer kehidupan bangsa yang makin rentan terhadap imaji kekerasan, disintegrasi sosial, atau ulah anomali sosial lainnya, sudah tiba saatnya koran menjadi media alternatif, semacam katharsis dan pencerahan batin, untuk ikut peduli meredam emosi pembaca lewat teks-teks sastra, baik kreatif maupun literer, yang mampu membikin hati sejuk, penuh sentuhan nilai kemanusiaan dan religi. Melalui teks sastra inilah denyut kehidupan manusia yang sebenarnya dapat dirasakan dan diraba. Dengan banyak membaca teks sastra, pembaca makin arif dan jernih dalam menyiasati berbagai fenomena hidup dan kehidupan.
Akankah ”sinergi” antara sastra dan koran makin menguat atau justru amburadul direnggut ”mulut-mulut” industrialisasi dan kapitalisasi global yang sulit terelakkan? Nah, sang waktulah yang akan menjadi saksi. ***
Sumber: Sawali Tuhusetya - http://www.cintabahasa.co.cc/

Senin, 07 Februari 2011

Doa yang Harus Kujawab

Telah terkirim doa dari seorang pria tengah malam tadi. Lelaki kurus dan legam yang sangat ingin bisa nyetir mobil. Ia duduk diatas sajadah usang berbulu, yang renta. Kain hijau yang digunakannya pun tak bersih: tak seperti layaknya pendoa-pendoa yang biasa bermunajat kepada Ku dimalam hari yang sunyi.
Pria yang ingin sekali bisa nyetir ini, melelehkan butiran-butiran air jernih dari sudut bolamatanya yang berwarna putih kekuning-kuningan. Dalam sedu sedan ia luapkan semua himpitan bathinnya.
"Tuhan, apakah salah jika aku bisa nyetir? Terlalu berliku jalan yang Kau berikan pada hambaMu ini. Bukankah Kau pernah bersabda jika Engkau hanya akan memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan seseorang? Apakah janjiMu sudah tak bisa kupercaya lagi? Apakah ini harus jadi doa pertama dan terakhirku? Lalu siapa yang akan kupercaya lagi?"

Suara parau yang tak terdengar oleh orang lain itu kian melemah. Diteruskan oleh nada gumam ratap yang aneh. Suara yang tak lazim: seperti hamba-hambaKu yang lain mengirimkan doa.

"AAAAARRRRFF. Tuhaaan..RRR..GRR..Tuhannn," kakinya yang dalam posisi bersila digoyang-goyangkannya  keatas dan kebawah. Semakin keras. Lalu berhenti. "Tuhaaannn, apa jalan menuju ridhaMu dengan membiarkan anakku kelaparan? Apakah jalan yang Kau kehendaki dengan menjadikan isteriku buruh cuci dirumah orang-orang? Dan selamanya harus beginii..."
Hening. Dalam hening yang cukup lama itu, hatinya berkata : "Jika Kau tak mempermudah jalanKu, siapa lagi? Jika Kau telah menakdirkan aku menyerahkan diri esok pagi, apakah kebutuhan keluargaku akan Kau cukupi?"
 ========================================================================
Lelaki jagal ini memang baru malam ini mengirimkan doanya. Ia telah membunuh seorang jutawan karena butuh biaya untuk belajar nyetir dan membuat Surat Izin Mengemudi (SIM). Sebelum tengah malam tadi, ia tak pernah mengirim doa kepadaKu. Tak pernah meminta. Untuk memaki nasib dan ketidakadilan saja ia pergunakan hati dan mulutnya.
Doa tak dikenal itu datang dengan tiba-tiba. Aku sudah mengetahuinya sebelum ia memilih kata-kata harap itu. Dan Aku sudah paham reaksinya akan begitu. Ia menyesal mengikuti kata hatinya untuk membawa perubahan yang lebih baik buat keluarga tercinta.
=========================================================================
Beberapa malam yang lalu, seorang jutawan yang kerap mengirimkan doanya, meminta lagi kepadaKu. "Tuhan, berilah hamba rezeki berlimpah. Darimana pun asalnya. Jika ia didalam bumi, keluarkanlah. Jika masih menggantung dilangit, turunkanlah. Apabila rezeki itu haram, halalkan lah. Buka lah pintu rezeki dari empat penjuru mata angin dan selalu lah beri aku rezeki dari arah yang tak terduga."
Jutawan ini memang rajin mengirimkan doanya, sejak anaknya meninggal kala ikut sang isteri dulu. Saat perceraiannya dengan isteri tercinta, karena orang ketiga: tujuh tahun yang lalu.
Ia rajin berdoa, awalnya karena merasa bersalah kepada buah hatinya yang jatuh sakit lalu meninggal, karena menahan rindu kepadanya.

Sejak itu, ia selalu fokus mencari uang dan hanya memikirkan uang saja. Untuk menghilangkan rasa bersalahnya, waktunya dipergunakan hanya untuk bekerja dan berdoa ditengah malam. Segala sumber uang dicarinya. Dari yang hitam, abu-abu, juga yang halal. Tiga tahun terakhir: ia sudah bisa membuat penampungan anak yatim di perbatasan kota. Dibiayainya seluruh kebutuhan 27 anaknya tersebut. Kerjanya semakin menggila, karena kebutuhan semakin meningkat.

"Tuhan, tahun ini adalah tahun terbaik dalam hidupku," kata sang jutawan. "Mulai tahun depan akan lebih ringan bebanku. Yayasan besar akan mengurusi semua kebutuhan ini. Jadi aku bisa menghabiskan banyak waktu dan bisa menjadi bapak yang baik buat seluruh anak-anakku."
=========================================================================
Tapi sayangnya, tahun depan tak pernah menemui sang jutawan. Ia tewas ditangan pria yang sangat ingin belajar nyetir itu: dua hari yang lalu. Kala hujan lebat: sesaat hendak berdoa ditengah malam yang sejuk dan sepi itu.
Sang jutawan mendengar suara langkah kaki hendak masuk kekamarnya. Dibalut sarung dan kopiah, sang jutawan menoleh kebelakang. Benar. Sang pria yang ingin belajar nyetir dan membuat SIM itu, telah berdiri gemetaran membelakangi daun pintu kamar sang jutawan.

Pria itu bergetar hebat, tak pernah dibayangkan akan bertemu dengan sang jutawan empunya rumah. Ia tahu pria duda yang tinggal sendiri itu kerap keluar hingga dua atau tiga hari lamanya. Pengamatannya meleset hari ini. Perhitungan yang diambilnya salah total. Ia mengira rumah itu kosong malam itu.

Karena panik, bercampur takut yang hebat, belati yang dibawanya hanya untuk mencongkel dan menggertak saja, dihujamkannya kedada jutawan yang hendak berdiri dari duduknya. Berkali - kali. Hingga benar-benar sepi dan benar-benar merah.
=========================================================================
"Aku tahu semuanya akan berakhir begini...
Tapi pria yang hanya ingin belajar nyetir dan mendapat SIM itu, tak akan pernah tahu bagaimana Aku menyayanginya. Ia hanya berfikir memberikan penghidupan yang lebih layak kepada anak-isterinya. Ia mengikuti saran temannya, jika jadi supir: kesejahteraan akan jauh lebih baik daripada terus jadi jagal Sapi di Rumah Pemotongan Hewan. Temannya bilang, ia punya link boss-boss yang selalu butuh supir pribadi atau supir biro perjalanan."

Pria yang sangat ingin bisa nyetir itu telah empat bulan menyisihkan uang. Tapi tak pernah mendekati angka yang dibutuhkan untuk belajar nyetir dan membuat SIM. Selalu habis untuk kebutuhan-kebutuhan anak-isteri yang lebih mendesak. Hingga akhirnya ia berfikir mencuri saja sekali. Mencuri dengan aman. Untuk menggenapi uangnya, agar bisa nyetir.

Dipilihnya sang jutawan, tetangga yang agak jauh dari rumahnya dan rumahnya paling besar itu. Ia tahu rumah sang jutawan sering kosong dan sepi. Karena hanya dihuni satu orang itu saja. Ia tak pernah kenal secara personal dengan sang jutawan. Hanya tahu muka saja
=========================================================================
"Doa mereka tak pernah Kujawab...
Kini pria yang ingin memiliki SIM itu sudah menyerahkan diri ke Polisi. Ia ditahan dan menunggu sidang. Ia lebih tenang sekarang. Karena anaknya, walaupun tak yatim: tapi dimasukkan Pak RT ke program yang dicanangkan oleh almarhum sang jutawan. Biaya sekolah dan kebutuhan primer anaknya ditanggung oleh penampungan anak yatim milik almarhum. Isterinya juga dipercaya mengelola penampungan dan digaji layak. Karena orang-orang sekitarnya tahu bahwa isteri sang pria yang sangat ingin belajar nyetir itu, sangat jujur terhadap majikan-majikan pemilik cucian."
=========================================================================
"Aku selalu memberikan jalan keluar dengan logikaKu sendiri. Bukan dengan nalar manusia. Bukan dengan kalkulasi otak dan perhitungan-perhitungan terbaik menurut hamba-hambaKu. Aku selalu berada dalam semua siklus dan menggerakkannya tanpa mereka sadari bahwa semua itu adalah jalan yang sudah Kutentukan."
=========================================================================
"Aku sangat menyayangi pria yang menginginkan SIM dan sang jutawan itu. Kini sang jutawan bahagia dialamnya - melihat jerih payahnya membuahkan hasil dan selanjutnya, menunggu skenarioKu dengan tenang: dan pria yang ingin belajar nyetir itu, sudah ikhlas mengirimkan doa-doanya setiap malam. Ditemani butir airmata bathin yang tenang. Ia jauh lebih sejuk dan damai dibanding dirinya yang dulu. Isteri dan anaknya cukup 'berkecukupan' sekarang dan juga kerap mengirimkan doa kepadaKu. Aku sangat mencintai keluarga ini dan sang jutawan. Aku mencintai semua hamba-hambaKu dengan caraKu sendiri."