Sabtu, 15 Januari 2011

Objektifitas Media Besar Indonesia

Beberapa bulan belakangan ini saya merasa terusik dengan pemberitaan media-media besar di Indonesia. Televisi nasional khususnya: pola dan arah pemberitaan yang ditampilkan tak pernah memberi ruang positif untuk bangsa kita yang besar ini, memiliki percaya diri lebih. Media selalu menstimulasi opini dalam kepala orang Indonesia, bahwa negara yang kemerdekaannya ditukar dengan jutaan nyawa ini: memang bangsa yang kacau dan tipis harapannya bergerak kearah yang lebih baik.

Televisi nasional selalu membombardir negara ini dengan siaran kekecewaan dan hopeless/ keputusasaan massal. Bak sinetron tragedi tak berujung, berita-berita yang diangkat selalu 'difokuskan' kepada kegagalan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa. Dilukiskan Indonesia sebagai negara sumber ketidakadilan, sumber kemunafikan, bentukan dari punca sebuah rezim, bahkan personal yang tak memiliki pekerjaan tetap pun, dikarenakan ia memang pemalas dan tak memiliki keahlian: tetap saja negara disalahkan. Begitu juga dengan koruptor atau perampok. Dosa individu sudah menjadi dosa negara.

Dalam opini ini, saya pisahkan antara negara dengan pemerintahan SBY. Saya pastikan saya bukan pendukung kaum kiri maupun kanan. Saya melihat yang terjadi adalah: beberapa media besar, sangat-sangat kritis dengan pemerintahan SBY, dan tak ada masalah dengan itu, selama ada bukti/ fakta. Ironisnya, "SBY dilumpuhkan, Bangsa Indonesia dikorbankan".

Sudah terlalu lama pemberitaan dan penyampaian opini dibeberapa TV (skala) nasional Indonesia disusupi kepentingan-kepentingan aneh. Dapat dilihat dari pola pemberitaan. Baik itu pemilihan kata, pemilihan sudut pandang yang diarahkan oleh reporter saat 'hot topic' di 'talk show' maupun nara sumber 'pengimbang' sebuah 'talk show'. Apalagi diskusi tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak. Dipastikan muaranya - "Bangsa ini memang begitu". Bangsa dengan mental sakit...Kasihan Indonesia.

Saya masih merekam bagaimana seorang reporter wanita (TV di Indonesia) melakukan kebohongan publik yang menyesatkan. Ia merekayasa kasus dalam sebuah siaran. Tapi hingga hari ini, ia masih dipercaya memoderatori dan mengarahkan perbincangan-perbincangan opini di stasiun televisinya dan Polisi tak berani bertindak keras kala kasus itu mencuat. Karena Polisi memang alergi dan enggan memanjangkan masalah dengan media.

Saya juga memerhatikan gelagat para pemilik media besar. Jika ia politisi, ia akan selalu menyudutkan pemerintahan yang tengah berlangsung (yang tak kooperatif dengannya). Dengan pola pemilihan pemberitaan yang saya sampaikan diatas tadi. Tentunya ia tak turun langsung secara teknis, tapi seleranya sudah dapat ditangkap oleh awak medianya. Finalnya, politik pencitraan.
 Jika ia murni pengusaha, ia akan memanfaatkan kekuatan media untuk melindungi diri dari praktek bisnis 'abu-abunya' dan menghajar (lewat pemberitaan) pihak-pihak yang sekiranya dapat membahayakan bisnisnya. Baik itu sebuah institusi atau 'permainan' pengusaha saingannya.
Jika ia pejabat publik, medianya tak akan pernah mengkritisi kebijakan dan manuver pergerakan badan atau departemen yang dipimpinnya. Kecuali yang positif dan baik-baik saja.

Bukan berarti saya mengajak jangan percaya berita. Tapi sebaiknya kita berhati-hati dengan pemberitaan di negeri ini. Jangan sampai kepercayaan diri kita sebagai orang Indonesia: luntur, digerus pemberitaan-pemberitaan untuk kepentingan tertentu yang mengatasnamakan rakyat, masyarakat dan bangsa. Jangan sampai tertanam dalam diri kita bahwa bangsa kita adalah bangsa bobrok, dikarenakan ulah media yang tak bertanggungjawab secara moral.

Jangan sampai kita tak berfikir jernih dan idealis lagi: disebabkan pemberitaan-pemberitaan yang selalu mengerdilkan semangat juang kita untuk Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar