Kamis, 02 September 2010

Cerita dari Daerah Perbatasan

Pidato Presiden SBY, Rabu malam (2/9) kemarin, dianggap memble oleh banyak pihak. Pendapat SBY mengenai hubungan Indonesia - Malaysia dianggap normatif, dalam arti kata: lempeng - lempeng saja. Padahal kedaulatan Indonesia beserta rakyatnya sudah diinjak - injak oleh negeri tetangga yang katanya serumpun itu.
Malam itu juga, LSM Bendera mengadakan demonstrasi [lagi], menumpahkan uneg - uneg dijalan. Tak ketinggalan dengan membakar [lagi] bendera Malaysia.

Akumulasi kekecewaan LSM Bendera dan rakyat Indonesia terhadap Malaysia pecah saat tiga orang anggota awak patroli kapal DKP milik Provinsi Kepulauan Riau dibawa dan ditahan oleh polis Malaysia beberapa waktu lalu. Diperairan Indonesia pula kejadiannya.

Nah, hubungannya dengan pidato politik SBY: Kepala Negara itu seperti tidak simpati merasakan panas yang mendidih yang 'dimasak' oleh kelakuan - kelakuan Malaysia selama ini. SBY masih menganggap Malaysia adalah mitra sejajar. Mitra ekonomi, sosial dan budaya. Banyak yang tambah berang dengan kelembutan yang ditunjukkan oleh Presiden Indonesia tercinta itu.

Sekarang Saya coba memasukkan opini Saya sebagai orang yang tinggal di perbatasan...

"Mungkin bagi rekan - rekan yang tinggal jauh dari Malaysia, negeri Melayu itu dianggap bukan apa-apa. Tak ada hubungan atau keterkaitan emosi apalagi kultur. Tidak bagi saya yang tinggal di Tanjungpinang, Kepulauan Riau."

Saya tidak bermaksud membela Malaysia dengan segala arogansi dan cara pandangnya terhadap Indonesia. Tapi saya tegaskan, tidak semua warga Malaysia seperti hewan buas yang selalu menunggu mangsanya lalai. Tidak semua warga Malaysia memandang hina dan rendah orang Indonesia. Begitu juga dengan kerajaannya. Kita terlalu menggeneralisir semua hal yang tidak baik tentang orang Malaysia.

Sangat banyak warga Malaysia [hari ini] keturunan suku - suku dari Indonesia. Mereka menyadari itu dan masih bangga dengan darah yang mengalir yang mengisi nadi dan kepala mereka. Jawa, Bugis, Minang dan orang Kepulauan Riau.
Budaya ke-empat suku tersebut masih cukup kental menghiasi cerita hidup anak - cucu warga 'Malaysia keturunan' itu hingga sekarang. Mereka masih tau cerita sejarah orangtua/ kakek - neneknya hingga menetap dan menjadi warga Malaysia. Mereka masih menelusuri siapa saja saudara mara yang masih hidup dan bagaimana hubungan darahnya. Mereka masih merindukan suasana yang pernah dirasakan oleh ayah-ibu atau kakek-neneknya. 

Tak hanya dari sisi historis itu saja. Sejak dulu hingga sekarang, masih banyak orang Indonesia yang merantau ke Malaysia hanya sekedar untuk mencari peruntungan. Malah kata SBY dalam pidatonya kemarin; Malaysia merupakan daerah tujuan TKI terbesar yang keluar dari Indonesia. Bisa dibayangkan kalau SBY menyatakan perang dalam pidatonya?

Ok-lah ada yang beranggapan: jangan cuma gara-gara sedikit TKI yang ada di Malaysia, mengorbankan harga diri jutaan orang yang 'sedang' menetap di bumi Indonesia... Anggapan seperti itu tidak benar menurut saya.
Apakah mereka yang bekerja di Malaysia bukan warga Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan warga Indonesia yang menetap di bumi pertiwi ini? Apakah keluarga - keluarga yang mereka hidupi di kampung halamannya juga harus kehilangan sumber pemasukannya? Apakah kehidupan yang mereka rasa lebih baik di negeri orang tak boleh dicicipi?

Saya berfikir, pasti kawan - kawan yang getol menyerukan perang [secara fisik] dengan Malaysia tak memiliki rekan atau saudara mara yang mengais rezeki disana. Pasti tak pernah atau jarang bersilaturahmi dengan keluarga disana. Pasti tidak pernah merasakan pertolongan medis di sana ketika di Rumah Sakit daerah perbatasan tak memiliki alat. Padahal bantuan medis sangat urgent dibutuhkan: Pasti tidak pernah bersentuhan langsung dengan turis - turis dari Malaysia yang berbondong - bondong main ke daerahnya. Memiliki saudara angkat dan berbelanja menghabiskan uang untuk daerahnya.

Diluar semua pemahaman saya diatas, saya tak menampik jika ada warga Malaysia yang menganggap rendah orang Indonesia. Karena yang mereka nilai adalah TKI yang kurang makan sekolah yang bekerja dirumah atau usaha miliknya. Intinya, kita sama -sama tak bisa menggeneralisir pandangan orang terhadap sesuatu. Selalu ada kasus khusus..... Terimakasih sudah ikut membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar