Rabu, 15 September 2010

Yogyakarta

Kerinduan menyambangi Yogya menyeruak lagi. Setelah sekian lama kandas dalam rutinitas dan ambisi - ambisi yang hendak diwujudkan. Yogyakarta... Kota tempat dimana aku besar dan tumbuh di dalam uap jalan, sinar lampu 'angkringan' dan aroma tanah basah-nya.

Kota yang kini menggunakan huruf J ini; tak kan pernah berubah dalam benakku. Kendati Yogya penulisannya menjadi Jogja - Ia tetap abadi dalam bentuknya - dari dulu hingga sekarang. Ketenangan kota tua itu, membuatku [atau siapa saja yang pernah berdiam didalamnya] -  memiliki waktu untuk belajar lebih banyak menghargai perbedaan dan mengasah rasa simpati yang sudah kita bawa sejak lahir itu.

Dikota Pelajar tersebut kutemukan seluruh kawan dari belahan bumi nusantara yang kaya-raya ini. Berjuang untuk menyerap semua perbedaan yang bercampur, yang lama -lama menumbuhkan persatuan dan rasa cinta. Rasa cinta yang muncul akibat begitu hebatnya toleransi yang timbul. Tanpa rekayasa dan pemaksaan diri.

Jogja... Entah karena jiwa muda yang membuatku sangat-sangat menggilai-mu saat itu atau sebab pesona kebebasan yang kau tawarkan. Aku tak bisa menyimpulkan. Karena hingga hari ini, walaupun tidak berpijak di tanahmu lagi, aku masih sangat merindui dan mencintaimu.
[mungkin karena pernah hampir delapan tahun aku menikmati lampu jalanmu dan memandang Gunung Merapi setiap hari. Akhirnya memasukkan sugesti akrab; hingga menimbulkan rasa cinta kedalam sukma ini. Memori yang menetap dan siap dibuka kapan saja. Wallahuallam Bissawwab]

Rugi rasanya bagi kawan-kawan yang tak pernah menetap di Kota Budaya itu. Jogja akan selalu mengingatkan kita untuk rendah hati, setara dengan sesama, ramah, santun dan tenang. Seperti ritme kota itu sendiri. Kata Emha Ainun Najib; Yogya adalah Kawah Candradimuka. Kota untuk menempa seseorang untuk menjadi lebih arif. Seperti Umbu Landu Parangi, guru Emha [dari Jogja] yang mendidik diri Emha lebih menghargai semua hal. Sekecil apa pun itu. Begitulah Jogja kawan.......

Boleh dibilang aku adalah satu dari sekian banyak orang yang 'menjadikan' Jogja sebagai kampung halaman dihatiku. Magnet tanah dan air Bumi Mataram itu sangat kuat menyatu dalam dada dan tapak kakiku. Hingga tak heran jika kerinduan itu datang: ia akan menggetarkan sendi dan hati - seperti merindukan orangtua tercinta.
Kendati tanpa kawan seperjuangan dan sepermainan ketika berada di Jogja [karena mereka sudah tidak tinggal di Jogja lagi]. Rindu bisa sedikit terobati, sebab saat menikmati tempat/ 'suasana historis' Jogja, kudatangkan mereka dalam wujud lalu - wujud-wujud yang kukenal dulu.

Sudahlah -Yang merasakan gelisah seperti ini hanya kawan-kawan yang pernah menetap di Jogja - Sepertinya kuharus ke Jogja jika ada kesempatan dalam waktu dekat ini... Akan mengobati kerinduanku yang mulai memuncak.
Jogja . . . wait for me! Love U / Always...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar