Minggu, 26 September 2010

Kesalahan Nama Anak (versi islam)

"Si junior bentar lagi bakal nongol. Bapak sama Emaknya pasti jauh - jauh hari sudah mempersiapkan nama untuk belahan hati mereka itu. Karena teknologi USG sudah memprediksikan jenis kelaminnya. Paling tidak, untuk lebih save lagi, biasanya para orangtua mempersiapkan dua nama. Satu untuk cowo - satunya lagi nama cewek."
Karena saya muslim, saya ingin berbagi sedikit pengetahuan mengenai nama bayi untuk muslim, khususnya yang terkait dengan al asma al husna [nama-nama yang berhubungan dengan kuasa Allah SWT].
Adapun sumber dari penjelasan saya, datang dari bukunya Prof.Dr.H.Nasaruddin Umar,M.A, yaitu The Spirituality of Names.

Yang saya serap adalah; kerap terjadi kesalahan pemberian nama bayi dikalangan ummat islam. Khususnya untuk nama-nama Allah yang menggambarkan sifat yang agung, terpuji dan mulia. Memang tidak terlalu fatal, karena yang dilabrak adalah makna bahasa saja atau arti dari nama itu sendiri. Tidak menimbulkan efek sosial.

Ringkasnya, pemberian nama anak yang mengambil atau berpedoman dari al asma al husna, tidak boleh berdiri sendiri, misalnya: Ar Rahman atau Rahman (maha pengasih), Ghafur (maha pengampun), Jabbar (maha pemaksa), Latif (maha halus), dan lain-lain.
Harusnya, sifat/ nama-nama Allah tersebut dihubungkan dengan 'abdun' (arti:hamba). misal: Abdurrahman (hamba-Nya yang maha pengasih), Abdul Ghafur (hamba-Nya yang maha pengampun), Abdul Latif, Abdul Jabbar, Abdul Qahhar, Abdul Gaffar, dan lain-lain.

Alasannya, Nama atau gambaran sifat/ kuasa Allah SWT tadi, tidak boleh diberikan kepada hambanya. Karena sehebat apa-pun hamba Tuhan, dia tak akan bisa menyaingi Tuhannya. Ya, solusinya dengan penambahan kata Abdul tadi.
Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin

Selasa, 21 September 2010

Pantun Tujuh

Pantun Tujuh ini saya buat untuk mencoba menggambarkan dinamika dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Kota tempat saya tinggal [sekarang].

Sakit mata karena debu
Lebih lagi terkena api
Penduduk kota bermacam suku
Suka santai di kedai kopi

Hati-hati kapal beradu
Tambat lah kapal jauh-jauh sekali
Kedai kopi sebagai pemersatu
Tempat lah proposal datang dan pergi

Fajar menjelang radio disetel
Biar banyak tahu berita
Orang Pinang hobby nyetel
Biar selalu tampil beda

Percuma ambil Kelapa
Kelapa diparang, air tak tumpah
Tak cuma tampil beda
Orang Pinang, rancak berkilah

Makan Bakso dengan tetangga
Tauke roboh, tak jadi lah gratis
Baliho terpasang dimana-mana
Semua tokoh, lah jadi narsis

Angin kencang, jangkar ditambat kokoh
Pulau terlihat jauh diujung mata
Semua orang, nak jadi tokoh
Penjahat pun dah tak ada kerja

Musim Mangga, buah duku tetap mahal
Berkarung-karung disukat-sukat
Musim Pilkada, semua suku dijual
masing-masing nak tunjuk hebat

Demikian tujuh pantun yang saya buat, pantun versi saya tentunya. Mengenai kaidah pantun yang benar, saya bukan ahlinya. Hanya penikmat. Tq udah join baca...

Rabu, 15 September 2010

Yogyakarta

Kerinduan menyambangi Yogya menyeruak lagi. Setelah sekian lama kandas dalam rutinitas dan ambisi - ambisi yang hendak diwujudkan. Yogyakarta... Kota tempat dimana aku besar dan tumbuh di dalam uap jalan, sinar lampu 'angkringan' dan aroma tanah basah-nya.

Kota yang kini menggunakan huruf J ini; tak kan pernah berubah dalam benakku. Kendati Yogya penulisannya menjadi Jogja - Ia tetap abadi dalam bentuknya - dari dulu hingga sekarang. Ketenangan kota tua itu, membuatku [atau siapa saja yang pernah berdiam didalamnya] -  memiliki waktu untuk belajar lebih banyak menghargai perbedaan dan mengasah rasa simpati yang sudah kita bawa sejak lahir itu.

Dikota Pelajar tersebut kutemukan seluruh kawan dari belahan bumi nusantara yang kaya-raya ini. Berjuang untuk menyerap semua perbedaan yang bercampur, yang lama -lama menumbuhkan persatuan dan rasa cinta. Rasa cinta yang muncul akibat begitu hebatnya toleransi yang timbul. Tanpa rekayasa dan pemaksaan diri.

Jogja... Entah karena jiwa muda yang membuatku sangat-sangat menggilai-mu saat itu atau sebab pesona kebebasan yang kau tawarkan. Aku tak bisa menyimpulkan. Karena hingga hari ini, walaupun tidak berpijak di tanahmu lagi, aku masih sangat merindui dan mencintaimu.
[mungkin karena pernah hampir delapan tahun aku menikmati lampu jalanmu dan memandang Gunung Merapi setiap hari. Akhirnya memasukkan sugesti akrab; hingga menimbulkan rasa cinta kedalam sukma ini. Memori yang menetap dan siap dibuka kapan saja. Wallahuallam Bissawwab]

Rugi rasanya bagi kawan-kawan yang tak pernah menetap di Kota Budaya itu. Jogja akan selalu mengingatkan kita untuk rendah hati, setara dengan sesama, ramah, santun dan tenang. Seperti ritme kota itu sendiri. Kata Emha Ainun Najib; Yogya adalah Kawah Candradimuka. Kota untuk menempa seseorang untuk menjadi lebih arif. Seperti Umbu Landu Parangi, guru Emha [dari Jogja] yang mendidik diri Emha lebih menghargai semua hal. Sekecil apa pun itu. Begitulah Jogja kawan.......

Boleh dibilang aku adalah satu dari sekian banyak orang yang 'menjadikan' Jogja sebagai kampung halaman dihatiku. Magnet tanah dan air Bumi Mataram itu sangat kuat menyatu dalam dada dan tapak kakiku. Hingga tak heran jika kerinduan itu datang: ia akan menggetarkan sendi dan hati - seperti merindukan orangtua tercinta.
Kendati tanpa kawan seperjuangan dan sepermainan ketika berada di Jogja [karena mereka sudah tidak tinggal di Jogja lagi]. Rindu bisa sedikit terobati, sebab saat menikmati tempat/ 'suasana historis' Jogja, kudatangkan mereka dalam wujud lalu - wujud-wujud yang kukenal dulu.

Sudahlah -Yang merasakan gelisah seperti ini hanya kawan-kawan yang pernah menetap di Jogja - Sepertinya kuharus ke Jogja jika ada kesempatan dalam waktu dekat ini... Akan mengobati kerinduanku yang mulai memuncak.
Jogja . . . wait for me! Love U / Always...

Selasa, 07 September 2010

Politisi dan Opini Publik

Kesempatan kali ini, saya mau berbagi pemahaman saya mengenai citra atau pembentukan opini publik. Khususnya kreasi opini yang diciptakan oleh politisi.

Opini adalah peluru bagi senapan pencitraan. Opini merupakan material inti untuk membangun sebuah pemahaman yang diinginkan. Dalam bahasa pemasaran; pembentukan opini adalah investasi [bagi si politisi].
Naah..untuk jadi politisi hebat; selain harus dikenal, karakter yang ingin ditonjolkan harus dibangun dengan pencitraan yang benar. Karena yang dijual adalah konsep berfikir, gesture tubuh dan cara berinteraksi/ sosialisasi. Ekstremnya: menjual paket jiwa dan raga si politisi.

Pembentukan opini ini berkaitan erat dengan media, forum atau alat peraga lain yang bisa menyampaikan simbol - simbol yang diinginkan ke publik. Makanya tak heran jika politisi sangat dekat dengan kata narsis dan eksis. Yaitu kelakuan yang selalu ingin menonjolkan diri dan 'tidak ingin terlupakan'.

Isu dan kejadian yang paling doyan diceburi para politisi adalah hal yang menyangkut kebutuhan/ keinginan orang banyak. Karena akan selalu menarik dan jadi pusat perbincangan. Ide yang ditelurkan harus segar dan memihak mayoritas. Jika pun tidak dengan terobosan seperti itu: harus melahirkan ide kontroversial yang bisa melibatkan banyak pihak terlibat didalamnya. Dan si politisi harus selalu menjadi sentral plus 'menggaungkan diri' sebagai pencetus konsep ide baru itu.

Diluar pola diatas, politisi yang sukses juga harus memelihara massa yang cukup militan untuk membantu pembentukan opini yang dikehendakinya. Massa inilah yang jadi lingkaran inti. Dari lingkaran inti ini kelak, isu atau citra seperti apa yang hendak dibangun - dimulai. Apakah hendak membangun citra positif tentang konsep pemikirannya atau sedang ingin menjatuhkan citra lawan politik yang dianggap rival.

Citra positif inilah yang dijaga mati - matian oleh para politisi dan institusinya. Dengan cara apa pun. Berusaha jadi Robin Hood atau pahlawan dalam semua kisah masyarakat. Pembentukan opini positif ini sangat menguras tenaga, dana dan fikiran mereka. Tak heran jika makin matang si politisi dan partainya, cenderung semakin anti kritik mereka. Karena ngotot menjaga integritas diri dan komunitasnya. Tentu dengan dalih, trik dan bermacam argumen yang disetting sedemikian matang dan bijaknya.

Ok lah. Sampai disini dulu celoteh saya
Thanks ya -  bagi yang udah nyempetin baca........

Minggu, 05 September 2010

Hendak Jadi Kepala, Buang lah Perangai yang Cela


"Penguasa kerajaan Buaya tentulah Buaya pula"

Judul diatas merupakan kutipan dari salah satu kalimat yang digubah dalam Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji (RAH): seorang sastrawan dan ulama besar dari Pulau Penyengat [sekarang masuk wilayah kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau]. Makna dari kutipan diatas adalah: Jika berkeinginan jadi pemimpin, hilangkanlah sifat - sifat yang tidak baik.

Sepertinya pemikiran RAH tersebut [menurut saya] tak cuma mengandung makna politis. Tapi ada unsur moral atau 'sufisme' jika dikaitkan dengan mental atau agama.

Hendak jadi kepala/ pemimpin itu bukan lah hal yang sulit. Minimal, setiap orang adalah pemimpin bagi jiwanya sendiri. Tapi berlaku kah hal tersebut untuk jadi pimpinan dari sebuah komunitas atau sekumpulan orang?
[untuk memimpin sekumpulan orang atau kelompok, mutlak harus didukung oleh mayoritas. Dan mayoritas tersebut, tentu memiliki standar nilai yang sudah dianut dan disepakati]

Parahnya: jika kelompok tersebut memiliki kesepakatan standar nilai 'sendiri' untuk tujuan yang tak baik. Tentu lah rangkaian kalimat - hendak jadi kepala, buang lah perangai yang cela tadi - tak kan digubris lagi. Yang utama hanyalah kepentingan bersama.

Akhirnya, jadilah pemimpin yang dipilih itu: tak lagi dinilai moralitasnya. Tak penting lagi apakah ia ular, biawak atau buaya. Yang penting calon pemimpin tadi bisa dipoles seperti gadis cantik yang menanti hari pernikahan. Tak peduli apakah ia pemabuk, pejudi, penipu, pezinah atau dari golongan munafik. Yang penting, sosoknya bisa memberi keuntungan pada hari kemenangannya kelak.

Yang mengantarkan kemenangan pemimpin seperti ini adalah orang tipe sejenis dengan sang calon pemimpin. Karena yang memimpin ular adalah ular, pemimpin negeri biawak tentulah biawak dan penguasa kerajaan buaya tentulah buaya pula. Kita tinggal menunggu kehancuran jika banyak orang yang menginginkan pemimpin - pemimpin yang bisa 'dikreasikan' oleh mereka.

Semoga tak terjadi di negara dan di daerah kita. Amin. . .

Kamis, 02 September 2010

Cerita dari Daerah Perbatasan

Pidato Presiden SBY, Rabu malam (2/9) kemarin, dianggap memble oleh banyak pihak. Pendapat SBY mengenai hubungan Indonesia - Malaysia dianggap normatif, dalam arti kata: lempeng - lempeng saja. Padahal kedaulatan Indonesia beserta rakyatnya sudah diinjak - injak oleh negeri tetangga yang katanya serumpun itu.
Malam itu juga, LSM Bendera mengadakan demonstrasi [lagi], menumpahkan uneg - uneg dijalan. Tak ketinggalan dengan membakar [lagi] bendera Malaysia.

Akumulasi kekecewaan LSM Bendera dan rakyat Indonesia terhadap Malaysia pecah saat tiga orang anggota awak patroli kapal DKP milik Provinsi Kepulauan Riau dibawa dan ditahan oleh polis Malaysia beberapa waktu lalu. Diperairan Indonesia pula kejadiannya.

Nah, hubungannya dengan pidato politik SBY: Kepala Negara itu seperti tidak simpati merasakan panas yang mendidih yang 'dimasak' oleh kelakuan - kelakuan Malaysia selama ini. SBY masih menganggap Malaysia adalah mitra sejajar. Mitra ekonomi, sosial dan budaya. Banyak yang tambah berang dengan kelembutan yang ditunjukkan oleh Presiden Indonesia tercinta itu.

Sekarang Saya coba memasukkan opini Saya sebagai orang yang tinggal di perbatasan...

"Mungkin bagi rekan - rekan yang tinggal jauh dari Malaysia, negeri Melayu itu dianggap bukan apa-apa. Tak ada hubungan atau keterkaitan emosi apalagi kultur. Tidak bagi saya yang tinggal di Tanjungpinang, Kepulauan Riau."

Saya tidak bermaksud membela Malaysia dengan segala arogansi dan cara pandangnya terhadap Indonesia. Tapi saya tegaskan, tidak semua warga Malaysia seperti hewan buas yang selalu menunggu mangsanya lalai. Tidak semua warga Malaysia memandang hina dan rendah orang Indonesia. Begitu juga dengan kerajaannya. Kita terlalu menggeneralisir semua hal yang tidak baik tentang orang Malaysia.

Sangat banyak warga Malaysia [hari ini] keturunan suku - suku dari Indonesia. Mereka menyadari itu dan masih bangga dengan darah yang mengalir yang mengisi nadi dan kepala mereka. Jawa, Bugis, Minang dan orang Kepulauan Riau.
Budaya ke-empat suku tersebut masih cukup kental menghiasi cerita hidup anak - cucu warga 'Malaysia keturunan' itu hingga sekarang. Mereka masih tau cerita sejarah orangtua/ kakek - neneknya hingga menetap dan menjadi warga Malaysia. Mereka masih menelusuri siapa saja saudara mara yang masih hidup dan bagaimana hubungan darahnya. Mereka masih merindukan suasana yang pernah dirasakan oleh ayah-ibu atau kakek-neneknya. 

Tak hanya dari sisi historis itu saja. Sejak dulu hingga sekarang, masih banyak orang Indonesia yang merantau ke Malaysia hanya sekedar untuk mencari peruntungan. Malah kata SBY dalam pidatonya kemarin; Malaysia merupakan daerah tujuan TKI terbesar yang keluar dari Indonesia. Bisa dibayangkan kalau SBY menyatakan perang dalam pidatonya?

Ok-lah ada yang beranggapan: jangan cuma gara-gara sedikit TKI yang ada di Malaysia, mengorbankan harga diri jutaan orang yang 'sedang' menetap di bumi Indonesia... Anggapan seperti itu tidak benar menurut saya.
Apakah mereka yang bekerja di Malaysia bukan warga Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan warga Indonesia yang menetap di bumi pertiwi ini? Apakah keluarga - keluarga yang mereka hidupi di kampung halamannya juga harus kehilangan sumber pemasukannya? Apakah kehidupan yang mereka rasa lebih baik di negeri orang tak boleh dicicipi?

Saya berfikir, pasti kawan - kawan yang getol menyerukan perang [secara fisik] dengan Malaysia tak memiliki rekan atau saudara mara yang mengais rezeki disana. Pasti tak pernah atau jarang bersilaturahmi dengan keluarga disana. Pasti tidak pernah merasakan pertolongan medis di sana ketika di Rumah Sakit daerah perbatasan tak memiliki alat. Padahal bantuan medis sangat urgent dibutuhkan: Pasti tidak pernah bersentuhan langsung dengan turis - turis dari Malaysia yang berbondong - bondong main ke daerahnya. Memiliki saudara angkat dan berbelanja menghabiskan uang untuk daerahnya.

Diluar semua pemahaman saya diatas, saya tak menampik jika ada warga Malaysia yang menganggap rendah orang Indonesia. Karena yang mereka nilai adalah TKI yang kurang makan sekolah yang bekerja dirumah atau usaha miliknya. Intinya, kita sama -sama tak bisa menggeneralisir pandangan orang terhadap sesuatu. Selalu ada kasus khusus..... Terimakasih sudah ikut membaca.